Di bawah
langit sore yang mulai menguning,
aku
menikmati waktu dengan tak biasa.
Bersama
sorot mata yang malu-malu, juga
sesabit
senyum kecil yang sesekali
mengembang.
Satu, dua, bahkan beberapa
tawa tak
luput meramaikan lalu lalang burung
yang hendak
pulang. Aku mencintaimu, dengan
atau tanpa
aku katakan setiap hari.
Hari-hari
setelah hari itu, jarum jam seperti
berjalan
terburu-buru. Lebih cepat dua bahkan
mungkin
puluhan kali lipat dari semestinya.
Senti demi
senti rindu mulai menenun diri
tanpa kenal
malam atau pagi. Bahkan jemari
tak pernah
lelah hanya untuk sekadar
mengabari.
Aku mencintaimu, dengan atau
tanpa aku
katakan setiap hari.
Kamu adalah
sosok yang mungkin tak pernah
sedikit pun
kubayangkan akan melengkapi
‘kita’.
Laki-laki tinggi, dengan postur tubuh
cukup tegap,
yang kerap mencuri pandanganku.
Sebelumnya,
kamu hanya seseorang asing
yang kerap
melempar senyum. Lalu hilang.
Namun, kini
aku mencintaimu, dengan atau
tanpa aku
katakan setiap hari.
Menjalani
waktu bersamamu yang mungkin
masih mampu
terhitung jari, membuatku selalu
ingin
memantaskan diri. Saling mengingatkan
hal-hal
sederhana, berbagi segala perihal
yang
sebelumnya hanya entah. Karena itu, aku
mencintaimu,
dengan atau tanpa aku katakan
setiap hari.
Mungkin, di
depan sana masih banyak setapak
berbatu yang
akan dan harus kita lewati.
Ditambah
kicauan tak penting, tatapan tajam
orang-orang
yang kepalanya kurang piknik,
juga ego
yang mungkin sesekali meninggi.
Atau, jika
nanti semesta kita sedang tak
bersahabat,
pikiran kita sedang tak searah,
dan punggung
kita sedang ingin bertatapan,
ingatlah
selalu kalimat terakhir dari tiap
paragraf
sebelumnya.
Terima kasih
untuk segalamu. Aku
mencintaimu,
dengan atau tanpa aku katakan
setiap hari.
Kepada
pemilik debar tak bernama,
Kepada
pemilik mata berpurnama,
Kepada
pemilik segala ramai tanpa suara,
cukupku
menemukan dermaga.
Tertanda,
Perempuan
yang selalu ingin dicintaimu.