Stay Write

Stay Write

Selasa, 05 Mei 2015

Dengan atau tanpa aku katakan setiap hari...



Di bawah langit sore yang mulai menguning,
aku menikmati waktu dengan tak biasa.
Bersama sorot mata yang malu-malu, juga
sesabit senyum kecil yang sesekali
mengembang. Satu, dua, bahkan beberapa
tawa tak luput meramaikan lalu lalang burung
yang hendak pulang. Aku mencintaimu, dengan
atau tanpa aku katakan setiap hari.

Hari-hari setelah hari itu, jarum jam seperti
berjalan terburu-buru. Lebih cepat dua bahkan
mungkin puluhan kali lipat dari semestinya.
Senti demi senti rindu mulai menenun diri
tanpa kenal malam atau pagi. Bahkan jemari
tak pernah lelah hanya untuk sekadar
mengabari. Aku mencintaimu, dengan atau
tanpa aku katakan setiap hari.

Kamu adalah sosok yang mungkin tak pernah
sedikit pun kubayangkan akan melengkapi
‘kita’. Laki-laki tinggi, dengan postur tubuh
cukup tegap, yang kerap mencuri pandanganku.
Sebelumnya, kamu hanya seseorang asing
yang kerap melempar senyum. Lalu hilang.
Namun, kini aku mencintaimu, dengan atau
tanpa aku katakan setiap hari.

Menjalani waktu bersamamu yang mungkin
masih mampu terhitung jari, membuatku selalu
ingin memantaskan diri. Saling mengingatkan
hal-hal sederhana, berbagi segala perihal
yang sebelumnya hanya entah. Karena itu, aku
mencintaimu, dengan atau tanpa aku katakan
setiap hari.

Mungkin, di depan sana masih banyak setapak
berbatu yang akan dan harus kita lewati.
Ditambah kicauan tak penting, tatapan tajam
orang-orang yang kepalanya kurang piknik,
juga ego yang mungkin sesekali meninggi.
Atau, jika nanti semesta kita sedang tak
bersahabat, pikiran kita sedang tak searah,
dan punggung kita sedang ingin bertatapan,
ingatlah selalu kalimat terakhir dari tiap
paragraf sebelumnya.

Terima kasih untuk segalamu. Aku
mencintaimu, dengan atau tanpa aku katakan
setiap hari.

Kepada pemilik debar tak bernama,
Kepada pemilik mata berpurnama,
Kepada pemilik segala ramai tanpa suara,
cukupku menemukan dermaga.

Tertanda,
Perempuan yang selalu ingin dicintaimu.
Top of Form
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form

Tuan yang Gemar Menghilang




Hai tuan, apa kabar?
Mengapa begitu sering kau menghilang sekarang, membuat aku, yang bukan siapa-siapa mu ini kebingungan.
Menunggumu? Sudah pasti itu aku lakukan, tapi tetap saja tak pernah ada jawaban. Kau tetap disana dan tak ada kabar.

Berbagai kemungkinan muncul dibenakku tiap malam, apakah kamu sedang sibuk dengan berbagai kegiatan disana?
Apakah kamu bertemu dia, seseorang dari masa lalu yang membuatmu belum bisa memindahkan sesuatu, hati?
Apakah kamu sengaja menghilang untuk dicari?
Atau, memang kamu tidak berkewajiban memberiku kabar setiap hari? mengingat kita hanya sebatas gurauan, hanya sebatas aku mempercayakan sesuatu padamu dan kamu tidak tahu.

Karena tiap hati punya kapasitas penampung rindu dan rasa, pun benci.
Jika sudah meluap aku tak bisa apa-apa selain menulis surat ini. Disini, titik lelahku mencintai kamu seperti ini, seperti orang bodoh, dalam diam, dalam
waktu yang tak akan pernah bisa kamu bayangkan.

Ini bukan salah ku kan?
Tak ada yang pernah tahu dan mau rasa seperti ini datang bersarang. Begitu menyiksa, aku harus sendiri melewati rindu-rindu saat purnama sedang kamu entah memikirkan siapa.

Setelah kamu membaca surat ini, aku ingin kamu bersikap seperti biasa, tak perlu pura-pura menumbuhkan rasa, karena aku tahu kamu tidak akan bisa. Aku hanya senang tiap kali berbincang denganmu, tanpa rasa cemburu tanpa kamu harus tahu.

Tapi mungkin aku sudah tidak ingin seperti itu, aku sudah berusaha memantaskan diri, namun kamu juga tak kunjung disini.
Aku hanya sudah tidak ingin lagi hanya menjadi tempat singgah, aku ingin kau akui sebagai rumah.
Tapi mungkin di dalam sana, dihatimu itu masih ada penunggu yang tak mau ada aku.
Dan aku, mungkin sudah kehabisan waktu.

Mata Cahaya



Ratusan roman, Dan kisah asmara telah aku baca,
Selama itu aku hanya bisa membayangkan indahnya cinta.
Selama itu pula, aku tak pernah merasakan kekuatan cinta.
Ternyata, cinta bukan wacana
Ia begitu pribadi dan tak terbaca,
Seperti Tuhan yang hadir dalam dada
Ia tak terkata, tapi sangat nyata ku rasa.

*Edisi''A''